Hukum Bank Titil

Hukum Bank Titil


Kebutuhan ekonomi yang menuntut terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari telah membuat masyarakat terjerumus dan bertransaksi dalam praktik keuangan yang menghawatirkan, salah satunya yaitu maraknya praktik bank titil di kalangan masyarakat terutama kelas menengah ke bawah. Bank titil adalah pemberian pinjaman sejumlah uang dengan persyaratkan adanya bunga ketika mengembalikan. Jika ditelaah sebenarnya mereka tertarik dalam praktik tersebut dikarenakan keadaan yang memaksa dan mengarahkan mereka melakukannya. Mencari modal sulit, sementara mencari utangan juga tak urung belum tentu dipercaya oleh orang lain. Sedangkan yang menjadi alasan masyarakat tertarik melakukan utang kepada pihak bank titil dengan alasan sebagai berikut:

1.     Prosedur cepat, mudah dan tidak berbelit-belit.

Hal tersebut seperti; ketika meminjam tanpa adanya biaya administrasi, jaminan relatif mudah (tergantung pada kesepakatan), dan yang terpenting tanpa melalui survei seperti yang terjadi di bank konvensional. Dengan proses yang relatif cepat dan tidak berbelit-belit, maka uang yang dibutuhkan dapat segera cair.

2.     Dekat dengan konsumen (nasabah).

Dalam hal ini, relasi antara nasabah dan pihak bank titil serasa lebih akrab, mereka melakukan pertemuan transaksi da;lam suasana dan tempat yang fleksibel, tidak menuntut formalitas seperti yang terjadi di bank konvensional

3.     Pembayaran cicilan ringan dan tidak ada sanksi ketika terlambat.

Kelebihan ini dirasa konsumen sangat menguntungkan karena kebanyakan mereka adalam masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke bawah sehingga dengan cicilan yang ringan tentu amat menarik hati mereka. Di sisi lain, ketika mereka mengalami keterlambatan tidak ada sanksi yang memberatkannya.

Hal-hal sebagaimana di atas tentunya menarik hati masyarakat untuk turut bergabung ke dalam jaringan yang bernama bank titil tersebut, dengan menghiraukan hukum riba dan bunga bankyang telah di atur dalam agama.

Jika ditinjau dari segi muamalah, praktik bank titil sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kegiatan perbankan pada umumnya, terutama bank konvensional, dimana di dalamnya juga menyaratkan adanya pembayaran bunga pada setiap transaksi yang berupa pinjaman. Dengan demikian, jelas dapat dikatakan bahwa dalam bank titil terdapat unsur riba (tambahan) di dalamnya.

Berkenaan dengan hal ini, Allah berfirman dalam Surah Ali Imran ayat 130 sebagai berikut:
 
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan” 

Dari ayat di atas, hendaknya sebagai seorang muslim kita harus senantiasa menjaga kemurnian agama kita, menjauhi praktik jual beli yang diharamkan, dan lain sebagainya. Bukankan Rasulullah pada pidato terakhirnya yaitu pada tanggal 9 Zulhijjah 10 hijriyah, pernak berpesan sebagai berikut:

“Ingatlah bahwa kalian akan menghadap tuhan kalian, dan Dia pasti akan menghitung amala yang kalian lakukan. Allah telah melarang kalian mengambil riba, oleh karena itu hutang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kalian adalah hakmu. Kalian tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan.

Sobat syariatkita, jika ada yang mengatakan bahwa yang mendasari orang melakukan atau terjerumus kedalam praktik yang diklarang oleh agama adalah karena adanya kebutuhan yang menddesak, lalu bagaimana Islam menyikapi hal ini? Permasalahan ini dapat dijelsakan, bahwa dalam pandangan agama Islam, orang yang sedang dalam keadaan terdesak memang sudah sewajarnya diberipertolongan, akan tetapi bukan berarti mereka harus terjerumus kedalam praktik yang diharamkan oleh agama. Pinjaman yang dimaksud haruslah berupa pinjaman yang nurni yakni tidak ada tendensi mengambil kemanfaatan. Karena jelas dikatakan:

كل قرض جر منفعة فهو وجه من وجوه الؤبي

 Jadi setian transaksi yang bertujuan mengambil keuntungan atau kemanfaatan dengan mengorbankan pihak lain maka dapat dipastikan bahwa hal tersebut merupakan salah satu praktik riba yang sudah jelas haramnya. Sehingga sedekah atau pijaman yang aman dari praktik tersebut haruslah murni karena membantu, adapun memberikan tambahan ketika melunasi utangnya tanpa adanya akad atau kesepakatan sebelumnya maka tidak jadi masalah (halal). Artikel yang menjelaskan hal ini dapat Anda baca di cara menghindar dari praktik riba.

Sebagai muslim yang taat, maka sudah sepatutnya kita membangun dan memperkuat ekonomi kita agar tidak tergilas dalam utang piutang yang mengandung unsur riba, sehingga kita dapat selamat dunia akhirat. Amin 

hukum bank titil

Referensi:
Depag RI, Al-Qur’an dan terjemahnya
Tim PPSIBI (Pengembangan Perbankan Syari’ah Institut Bankir Indonesia), Bank Syari’ah;Konsep,  Produk, dan  Implementasi Operasional, Jakarta: Djambatan
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url