Asuransi Syariah

ASURANSI SYARIAH


Di dunia yang semakin modern ini, berbagai praktik muamalah telah mengalami perkembangan yang begitu pesat. Adanya perkembangan tersebut tentunya di latarbelakangi oleh tuntutan dan keinginan masyarakat yang ingin terus memperoleh kenyamanan dan terjaminnya kehidupan mereka. Guna menjamin kebutuhan hidup tersebut, berbagai praktik asuransi telah berkembang dan menjamur di masyarakat, akan tetapi kebanyakan dari asuransi yang ada adalah asuransi konvensional yang kebanyakan mereka masih meragukan kehalalannya. Oleh karena itu, dewasa ini mulai bermunculan praktik asuransi syariah yang dianggap oleh mereka sudah 100 % dijamin kehalalannya.

Asuransi Dalam Perspektif Islam


Asuransi dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah at-ta'min atau yang disebut dengan jaminan keamanan. Adapun pihak penyedia asuransi tersebut biasa disebut dengan mu'ammin atau penjamin dan nasabah atau anggota asuransi disebut juga dengan mu'amman lahu atau musta'min yang berarti pihak terjamin. Istilah asuransi atau yang disebur at ta'min diambil dari kata amana yang artinya keamanan, ketenangan, dan bebas dari rasa takut. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam Al Qur'an surah Al-Quraisy ayat 4. (Wirdyaningsih, 2005: 221)

الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآَمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ

Artinya:

“Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”

Di Indonesia, asuransi syariah atau asuransi Islam sering disebut dengan istilah takaful. Istilah ini yaitu diambil dari bahasa Arab takafala, ya tafakalu, takafulan yang berarti menanggung atau menjamin (Wirdyaningsih, 2005: 222). Dalam istilah muamalah, takaful berarti saling menanggung resiko antara seseorang dengan orang lain, sehingga kedua belah pihak dapat mengambil keuntungan dari akad yang berlangsung diantara mereka. Akad tersebut biasanya dilakukan atas dasar saling tolong menolong dalam hal kebaikan, denganasumsi pihak yang pertama mendapat jaminan terhadap apa yang menjadi kesepakatan diantara mereka dan pihak kedua dapat mengambil keuntungan pula dengan menyediakan pengelolaan harta yang dilimpahkan kepadanya. Hal ini biasanya terealisasikan dengan cara yang lazim disebut dengan istilah tabarru atau berbuat kebaikan dalam hal yang tidak bertentangan dngan syariat. (Syakir, 2004: 33)

Pada tahun 2001, Dewan Syari'ah Nasional (DSN) telah mengeluarkan fatwa mengenai Asuransi Syari'ah yang mengatur tata dan aturan menganei asuransi sesuai dengan syariah yang saling menguntungkan. Dalam bagian pertama aturan tersebut, yaitu dalam fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 disebutkan mengenai ketentuan umum muamalah yersebut. Dalam point pertama disebutkan bahwa pengertian asuransi syari'ah (ta'min, takaful, atau tazdamun) adalah bentuk usaha yang saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang atau beberapa pihak melalui invenstasi dalam bentuk aset atau tabarru dan memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syari'ah. (Wirdyaningsih, 2005: 223)

Asuransi konvensional yang banyak ditemukan sekarang ini, sejatinya tidaklah sesuai dengan asuransi yang dikehendaki dengan yang ada di dunia Islam terutama pada dekade awal Islam. Konsekuensi dari hal itu semua, banyak literatur Islam yang menyimpulkan bahwa pada hakikatnya asuransi tidaklah dianggap sebagai suatu bentuk muamalah atau tasarruf yang dihalalkan. Halk tersebut dikarenakan, pada dasarnya Islam sendiri tidak meng-iyakan adanya praktik asuransi. Meskipun demikian, akan tetapi jika kita menilik beberapa aktivitas dari kehidupan Rasulallah saw. ternyata terdapat indikator yang mengarah pada prinsip-prinsip yang dapat dijadikan sebagai acuan hukum asuransi. Contoh sederhana dari aktivitas beliau adalah, beliau mengajarkan konsep tanggung jawab bersama yang kita kenal dengan istilah aqilah. (Syakir, 2004: 123)

Sebelum terbentuknya asuransi syariah, pada umumnya perusahaan asuransi konvensional yang ada, rata-rata dikendalikan dan dikelola oleh orang-orang non muslim, sehingga kehalalan dalam praktik ini menjadi semakin diragukan. Hal tersebut dikarenakan, jika ditinjau dari segi hukum Islam, asuransi konvensional yang ada sejatinya banyak mengandung unsur gharar (tipu musllihat), maisir (unsur perjudian) dan riba. Pendapat ini sebagaimana disepakati oleh banyak ulama terkenal diantaranya seperti Sayid Sabiq, Yusuf al-Qardawi, dan ulama-ulama lain. Namun demikian, karena adanya alasan kemaslahatan atau kepentingan umum yang menuntut adanya lembaga tersebut, maka sebagian mereka membolehkan adanya praktik asuransi konvensional. (Syakir, 2004: 124)

Tata Kelola dan Boleh Tidaknya Asuransi


Berdasarkan adanya kebutuhan tersebut yang dipandang perlu oleh kebanyakan masyarakat, maka pernyataan yang semula menyatakan bahwa asuransi konvensional hukumnya adalah haram, maka kemudian pernyataan tersebut ditinjau kembali dan dipikirkan serta dirumuskan asuransi yang sekiranya tidak bertentangan dengan syariat Islam. Dengan dasar inilah, maka terbentuk asuransi yang bisa terhindar dari ketiga unsur di atas yang nyata-nyata diharamkan oleh Islam yaitu asuransi syariah.

Berdasarkan hasil penelitian dan analisa terhadap suatu hukum syariat Islam, ternyata di dalam ajaran Islam sendiri ternyata termuat substansi yang membahas mengenai perasuransian. Asuransi yang termuat dalam substansi hukum Islam tersebut, yang bebar-benar menerapkan tata kelola dan peraturan Islam, tidak merugikan pihak lain, tidak terdapat unsur penipuan, tentunya dapat menghindarkan prinsip asuransi dari unsur yang telah disebutkan yaitu gharar, maisir dan riba. (Syakir, 2004: 125)

Asuransi Syariah

Referensi:

Wirdyaningsih, MH., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2005

Syakir, Muhammad, Asuransi Syariah (Life And general) Konsep dan Sitem Operasional, Jakarta: Gema Insani, Cet 1, 2004
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url