Cinta Dalam Perspektif Psikologi

Cinta Dalam Perspektif Psikologi


Cinta memang memiliki berjuta pesona. Dengan cinta seseorang dapat mencurahkan kasih dan sayangnya, dengan cinta pula terkadang seseorang dirundung duka yang berkepanjangan, sehingga kehidupannya dibuat merana karenanya. Fenomena-fenomena kesemuanya itu yang dapat kita jumpai di masyarakat, sejatinya merupakan sekelumit dari representasi manusia dalam menghadapi permasalahan hidupnya. Orang yang paham betul tentang artinya cinta, maka ia akan mampu menghadapi bualan cinta yang suatu saat menghampirinya. Akan tetapi bagi mereka yang kurang bisa mengendalikan dirinya, terlebih sudah tebuai oleh manisnya cinta ia akan sulit menghindar dari jilatan api asmara yang merasuk kedalam tubuhnya. Oleh karena itu, pepatah mengatakan “love is blind”, cinta adalah buta, begitulah ketika kekuatan cinta telah merasuk kedalam diri seseorang.

Sahabat syariatkita yang berbahagia, dalam kesempatan kali ini saya aka berbagi mengenai hakikat cinta dengan harapan kita dapat mengenal apa itu cinta yang sejati sehingga diharapkan kita akan dapat mengendalikan dan mengontrol pengaruh negatif yang ditimbulkannya. Dengan mengenal cinta, maka kit akan terhindar dari hal-hal yang melenakan diri kita, dan sebaliknya kita justru dapat mengambil enegri positif cinta untuk kita gunakan sebagai penyemangat kita dalam menjalani kehidupan kita di dunia ini.

Mengenal Sisi Kejiwaan Cinta

Dari sudut pandang psikologi, cinta merupakan luapan emosi terhadap sesuatu yang disukainya. Dengan demikian, sebenarnya cinta merupakan sesuatu yang masih perlu mendapatkan kontrol jiwa yang dalam hal ini yaitu hati agar tidak berjalan liar dan merugikan bagi diri sendiri (subjek pelaku cinta) terlebih bagi orang lain (objek percintaan). Akan tetapi sayangnya, tidak semua orang dapat melakukan hal tersebut. Jarang sekali kita temukan orang yang mampu mengontrol emosinya sehingga yang berperan besar dalam cinta adalah nafsu atau emosi negatif semata.

Berkaitan dengan hal di atas di dalam Al-Qur’an disebutkan:

إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي

“sesungguhnya nafsu itu senantiasa banyak mengarahkan kedalam hal-hal yang jelek (negatif), kecuali nafsu yang dapat mengarahkan ke jalan Tuhan.”

Dengan demikian dapat diketahui bahwa sejatinya cinta merupakan wujud perilaku emosional seseorang yang dimanifestasikan dalam bentuk tanggapan atau reaksi dari rangsangan (cinta) yang mempengaruhinya. Ketika seseorang telah sampai pada perasaan yang demikian ini, maka sejatinya kejiwaannnya telah berhasil dimasuki oleh efek cinta yang merupakan hasil dari adanya kontak atau interaksiantara sang pecinta (subjek) dengan lingkungannya (objek) dengan kekuatan unsure-unsur stimulusnya. (Fahruddin, 2002: 16)

Secara harfiyah, cinta memiliki beberapa makna diantaranya adalah; amat sayang, senang sekai, terpikat (biasanya antara seorang laki-laki dan perempuan), berharap sekali, rindu, ingin sekali, dan juga berarti susah hati (khawatir) (KBBI, 1990: 168) Dalam kamus psikologi, cinta dapat diartikan dengan perasaan khusus yang berhubungan dengan suatu kesenangan pelaku terhadap objek yang dapat menggairahkan pikiran dan menyemangati pelakunya, sesuai dengan kondisi cinta yang sedang dirasakannya.  terhadap atau melekat pada objek, cinta berwarna emosional bila muncul dalam pikiran dan dapat membangkitkan keseluruhan emosi primer, sesuai dengan emosi di mana objek itu terletak atau berada. (James, 1998: 263)

Banyak psikolog yang mencoba mendefinisikan mengenai makna sebuah cinta, akan tetapi terkadang definisi tersebut seringkali kurang bisa spesifik, hal tersebut dakarenakan, cinta yang dirasakan antara seseorang ddengan orang lain berbeda, dalam arti emosi yang mendasarinya adlah berbeda. Foktor-foktor penyebabnya diantaranya adalah pengaruh lingkungan dan objek (cinta) itu sendiri yang seringkali berbeda. Menurut Sigmund Freud (tokoh psikolog) menyatakan bahwa cinta dan atau hal-hal lain yang mirip dengannnya tak ubahnya seperti kemempuan kejiwaan yang dimiliki oleh seseorang, dimana antara sat orang dengan orang lain kemampuannya tidak mesti sama. Hal tersebut dikarenakan peran yang paling menonjol dalam perwujudan cinta adalah libido seksual.

Menurutnya, muara dari cinta yang bergejolak dalam tubuh seseorang merupakan manifestasi dari libido yang menuntut peran seksual dengan lawan jenisnya. Dari hal ini, maka ayat Al-Qur’an di atas saya rasa tepat sekali menggambarkannya, karena dampak negatif yang banyak berperan dari muatan cinta yang bermuara dari libido tersebut. Untuk menghindari hal tersebut, alangkah baiknya jika digunakan untuk menfokuskan pikiran untuk hal-hal lain, atau dengan kaa lain, ketika perasaan tersebut bergejolak, maka seseorang hendaknya menyalurkan atau konsen pada hal lain seperti berolahraga sehingga esensi negatif dari cinta dapat diarahkan menuju hal yang positif. (Fahruddin, 2002: 36)

Seorang tokoh psikologi humanistik; Abraham Maslow, dalam melihat hal ini memiliki pandangan tersendiri. Ia berpendapat bahwa dalam diri manusia terdapat motivasi yang mendorong cinta berupa adanya kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimilikinya. Kebutuhan tersebutlah yang menurutnya turut mempengaruhi harapan cinta yang ditimbulkannya. Diantara motivasi tersebut tertuang dalam kebutuhan seperti (Hasyim, 2002: 71):

a.         Kebutuhan dasar yang berupa kebutuhan fisiologis
b.        Kebutuhan rasa aman
c.         Kebutuhan rasa aman
d.        Kebutuhan cinta dan kasih sayang, dan
e.        Kebutuhan pengakuan atau aktualisasi diri.

Beberapa Macam Cinta

Ketika ditanya, apa arti cinta? Saya yakin bahwa setiap orang akan memberikan jawaban yang berbeda dengan yang lain.orang biasanya akan cenderung mengutarakan jawaban sesuai dengan pengalaman yang ditemukannya. Perbedaan persepsi mengenai cinta yang ada merupakan bentuk atau gejala kejiwaan cinta yang ada pada diri seseorang. Oleh karena itu ada berbagai macam istilah cinta, seperti; cinta monyet, cinta lokasi, cinta hangat-hangat kotoran sapi dan cinta karet. Ungkapan tersebut adalah argumen subjektif dari pelaku cinta itu sendiri, karena mereka merasakan kehadiran cinta dalam hidupnya memang demikian sesuai dengan apa yang ia rasakan.

Terlepas dari istilah di atas, Muhidin M. Dahlan dalam bukunya yang berjudul “Mencari Cinta”, mengklasifikasikancinta kedalam empat kategori, diantaranya yaitu, cinta rasional (rational love), cinta erotis (erotic love), cinta romantis (romantic love), dan cinta agape (god love). (Muhidin, 2004: 68)

a.         Cinta Rasional

Orang yang mengalami cinta jenis ini, biasanya ia tidak mudah terbawa emosi dan hal-hal yang dapat memperkeruh suasana, sehingga justru akan mengakibatkan kerugaia dan dampak yang negatif dari dirinya. Oleh karena itu, ia berusaha bersifat rasional terhadap cinta yang sedang ia jalani. Wuju cinta semacam ini banyak yang menamainya dengan cinta materi (matree), meskipun sebenarnya bukan itulah yang menjadi tujuannya.

Orang yang matree justru merupakan orang yang rasional, karena dibalik kekuatan cinta yang dapat menyeret dan melenakan seseorang, ia justru dapat mempetahankan jati dirinya sekalipun dengan embel-embel meteri. Dengan demikian, cinta rasiona merupakan wujud cinta ideal, meskipun tidak jarang juga banyak orang yang mencemoohnya karena orang yang semacam ini tidak memiliki jiwa yang loyal terhadap pasangannya. Ia hanya mengabdikan diri dengan orang yang mampu memenuhi kebutuhan jasmaninya.

b.        Cinta Erotis

Fenomena cinta semacam ini biasanya melanda mereka yang haus akan rasa kasih sayang. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Abraham Maslow, bahwa seseorang dalam kehidupannya mutlah membutunkan kasih sayang. Orang yang terjerembab dalam cinta semacam ini biasanya akal sadarnya kalah dengan nafsunya sendiri, sehingga libidonya akan secara spontan bereaksi manakala ia melihat kemolekan tubuh atau hal yang secara fisikly dapat memenuhi hasratnya. oleh karena itu, sebutan lain dari cinta ini adalah cinta erotis atau cinta biologis. Hal tersebut dikarenakan, faktor utama yang berperan adalah faktor badaniah seperti ketampanan dan kecantikan.

Cinta semacam ini biasanya cenderung bersifat individual, karena orientasinya hanya karena kebutuhan individu saja (egosentrisme). Orang yang semacam ini biasanya akan mudah bosan dengan pasangan hidupnya, sehingga kesetiaan dalam sebuah hubungan hanya menempati urutan yang kesekian saja. Ia akan mencari pasangan baru yang dirasa dapat membangkitkan hasratnya, manakala pasangan sebelumnya sudah dirasa tidak dapat memberikan kepuasan dan sudah tidak menarik lagi.

c.         Cinta Romantis

Romantisme dalam sebuah percintaan merupakan hal yang paling dinanti oleh setiap pasangan. Akan tetapi perasaan seperti ini terntaya tidak semudah yang dibaytangkan; dalam arti orang yang telah lama menjalin hubungan dalam ikatan keluarga pun belum tentu selamanya akan romatis terhadap pasangan mereka masing-masig. Banyak mereka yang mengeluhkan kakunya sifat suami, yang lain lagi ada yang mengatakan dinginga istri saat diranjang, dan bla bla bla. Oleh karena itu, romantisme dalam percintaan meruypakan hak pokok yang merupakan tuntutan kebutuhan psikis dan biologis bagi semua orang.

Dapat kita bayangkan jika pertalian cinta tanpa dilandasi oleh romantisitas, mesti dapat dipastikan kesenjangan komunikasi antar pasangan akan terurai, kalau pun tidak hal tersebut akan menjadi bom waktu dalam balutan konflik laten yang suatu saat pasti akan meledak. Cinta romantis merupakancinta yang tidak hanya cukup hanya teori atau dibahas dalam tataran konsep saja, namun mutlak adanya aplikasi dari masing-masing pasangan. Hal tersebut dikarenakan, orang yang dapat merasakan romantisme cinta ia pasti akan menemukan indahnya cinta; seperti alunan bait-bait puisi yang sangat indah didengarkan. Ia seolah-olah melenakan dan menepuk-nepuk jiwa yang sedang dilanda rindu.

d.        Cinta Religius (Agape)

Istilah lain yang dirasa paling tepat untuk menamakan cinta ini adalah “cinta sejati.” Bagaimana tidak, seseorang yang mesuk dalam lingkup cinta yang satu ini, maka dapat dipastikan bahwa ia akan benar-benar merakan indahnya cinta, ia dapat memiliki dirinya sepenuhnya tanpa harus terkekang atau digundahkan oleh statemen orang lain yang dapat memojokkan dirinya. Hal tersebut dikarenakan, religiusitas yang melandasi cinta ini telah menggiring pelakunya pada level yang sangat tinggi. Ia secara total sepenuhnya menyerahkan diri kepada orang atau apa saja yang ia cintai.

Cinta semacam ini jauh dahulu telah banyak terjadi, akan tetapi kebanyakan mereka adalah orang-orang yang benar-benar jiwanya telah mampu menerima dan fokus dengan objek yang dicintainya itu. Dalam pandangan agama cinta tersebut biasanya lebih menjurus ke arah tasawuf; karena orang yang jiwa tasawufnya telah matang maka ia akan pasti dapat meraakan cinta sejatinya tersebut. Sebagai contoh yaitu kecintaan Nabi Ismai'il as. terhadap Tuhannya, Rabiah Al-Adawiyah, Bilal bin Rabah, Masyitah meskipun harus menanggung resiko ditanak di kuali raksasa dan di panggang hidup-hidup dan banyak yang lain (semoga Allah meninggikan derajat mereka di surga. Amin).

Cinta religius, mendorong pelakunya tidak memiliki kekhawatiran dan rasa takut sedikitpun terhadap akibat atau pun konsekuensi yang harus mereka jalani. Sehingga pantas dikatakan apabila pelaku cinta semacam ini tidak pernah berkeluh kesah terhadap apapun yang menimpanya, karena cinta inilah yang merupakan tingkatan cinta tertinggi, ia melebihi kualitas cinta-cinta lain.

Pengaruh Cinta

Sudah barang tentu, setiap perasaan cinta yang diungkapkan oleh pasangan jenis akan mendatangkan efek-efek psikologi seseorang. Efek yang ditimblkan biasanya yaitu berupa hal-hal positif seperti perasaan senang, riang, semangat, tidak kenal lelah dan fokus mengejar target, sehingga dalam sebuah syair dikatakan “lautan luas kan ku seberangi, bukit tinggi pun kan ku daki”, begitulah pengaruh cinta yang dapat merasuk kedalam jiwa sanubari seiap manusia.

Akan tetapi, efek negatif yang ditimbulkan oleh cinta nampaknya bersifat simultan, dalam art orang yang sedang terbuai oleh cinta acapkali ia akan melakukan apa saja demi cintanya. Kesan positif yang ditimbulkan dari cinta sebagai penyemangat hidup pun akan dapat yang berubah menjadi sebuah tindakan irasional yang dapat merugikan orang lain. Sebagai contoh, seseorang yang sedang dilanda asmara manakala dalam posisi yang kepepet (ekonomi mepet/red) tentu ia akan berusaha mendapatkan uan guna menemui sang pujaan hati yang telah dijanjikannya. Hal-hal semacam ini jika tidak dapat dikontrol oleh sang empunya cinta pastilah akan mengakibatkan binasanya cinta itu sendiri.

Terlepas dari hal itu semua, berikut saya ulas beberapa pengaruh yang ditimbuulkan cinta pada jiwa seseorang yang sering terjadi pada masyarakat pada umunya. Pengaruh tersebut antara lain (Muhidin, 2004: 83):

-     Cinta dapat merubah seorang yang dulunya pelit menjadi dermawan, mengubah orang yang saklek dan egois menjadi seorang yang penyabar dan penuh dengan toleransi serta pengertian terhadap pasangannya.

-   Cinta dapat membuat seseorang menjadi giat bekerja, sebagai contoh seorang petani rela berjibaku dengan lumpur, berangkat ke sawah pagi-pagi buta, harus mengurus saluran irigsi agar tanaman padinya dapat terairi air sehingga panen yang ditunggu pun datang.

-    Cinta mampu membangkitkan semangat orang yang loyo, lemas dan tidak bertenaga menjadi pria yang perkasa. Cinta juga menjadikan orang yang lamban dan malas menjadi lincah, terampil, dan gesit.

Muhsin Labib (2004: 44-46) menyebutkan 7 hal yang merupakan dampak yang ditimbulkan oleh cinta antara lain yaitu; cinta dapat menghilangkan sifat kesombongan dari diri pencinta, dapat menciptakan daya dan kekuatan yang luar biasa, dapat mengkonsentrasikan (focus) semua daya, membuat hati seseorang menjadi lembut dan menghindarkan jiwa dari kekerasan.



Referensi:
Fahruddin Faiz, Filosofi Cinta Kahlil Gibran
Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
James Drever, Kamus Psikologi, Terj. Nancy Simanjuntak dari The Penguin Dictionary of Psychology

Muhidin M. Dahlan, Mencari Cinta
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url