KETIKA KITA MENDAPAT NASEHAT
Terkadang, seseorang membaca atau mendapatkan nasehat, kemudian ia merasa nasehat itu bermanfaat dan menyentuh hatinya. Maka ia pun ingin agar orang lain mendapatkan nasehat yang telah ia dapatkan. Ia pun menyebarkannya, sehingga ia berharap agar nasehat itu juga bermanfaat untuk saudara saudarinya sesama kaum muslimin.
Bukan Berarti Karena Merasa Lebih Baik
Oleh karena itu, ketika ada saudara kita yang membagikan sebuah pesan nasehat, tidak mesti karena dia itu merasa lebih baik dari yang lainnya. Tapi justru dia ingin agar kita juga mendapatkan manfaat sebagaimana ia telah mendapat manfaat dari yang ia bagikan itu. Justru dia adalah orang yang peduli dengan kebaikan kita, ia sedang mengamalkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian (dengan keimanan yang sempurna), sehingga ia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai (kebaikan) untuk dirinya.” (HR. Bukhari 13 dan Muslim 45)
Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullahpernah berkata:
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنِّيْ أَعِظُكُمْ وَلَسْتُ بِخَيْرِكُمْ وَلَا أَصْلَحِكُمْ، وَإِنِّيْ لَكَثِيْرُ الإِسْرَافِ عَلَى نَفْسِي، غَيْرُ مُحْكَمٍ لَهَا، وَلَا حَامِلُهَا عَلَى الوَاجِبِ فِي طَاعَةِ رَبِّهَا، وَلَوْ كَانَ الْمُؤْمِنُ لَا يَعِظُ أَخَاهُ إِلَّا بَعْدَ إِحْكَامِ أَمْرِ نَفْسِهِ، لَعُدِمَ الوَاعِظُوْنَ، وَقَلَّ الْمُذَكِّرُوْنَ
“Wahai manusia, sungguh aku akan memberikan nasehat kepada kalian padahal aku bukanlah orang yang paling baik dan paling shalih di antara kalian. Sungguh, aku pun telah banyak melampaui batas terhadap diriku. Aku tidak sanggup mengekangnya dengan sempurna, tidak pula membawanya untuk selalu melakukan kewajiban dalam mentaati Allah. Andai seorang mukmin tidak boleh memberikan nasehat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya menjadi sempurna, niscaya tidak akan ada para pemberi nasehat, dan sedikitlah orang-orang yang mau mengingatkan.” (Adabusy Syaikh al-Hasan ibn Abil Hasan al-Bashri karya Imam Ibnul Jauzi rahimahullah hal. 125)
Demikian pula saudara kita yang menulis sebuah artikel nasehat, kemudian membagikannya kepada kita. Bisa jadi karena dia mencoba menasehati dirinya sendiri dengan mencari-cari ayat-ayat al-Qur'an, atau hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallamdan perkataan para ulama yang bisa mengobati kesalahannya, ketidaktahuannya, dan kesedihannya dalam menghadapi masalahnya. Kemudian ternyata ia mendapat manfaat dari apa yang telah ia cari dan ia tulis, maka ia pun ingin agar saudara-saudarinya yang mendapat masalah yang sama sepertinya bisa ikut merasakan manfaat yang telah ia dapatkan. Termasuk juga orang yang menasehati atau menyampaikan kebaikan kepada kita secara langsung dengan cara yang baik.
Kita Terima Nasehatnya
Oleh karena itu, jika nasehatnya berisi kebaikan dan kebenaran, hendaknya kita terima nasehatnya, meskipun kita belum bisa atau belum sempurna ketika mengamalkannya. Terkadang, sebagian di antara kita justru malah mencari-cari kesalahan dan kekurangan si Pemberi nasehat, atau dengan menuduhnya yang tidak-tidak, dengan mengatakan: “Kamu aja masih begini, kamu aja masih begitu, kok nasehatin aku?!”, “Jangan sok alim lah... Nasehatin aja dirimu sendiri!”
Bukan, bukan demikian sikap seseorang yang sedang mendapat nasehat. Jika nasehatnya itu berisi kebenaran maka harus kita terima, bahkan meskipun orang yang menasehati itu belum mengamalkan apa yang ia nasehatkan. Apalagi jika orang yang menasehati benar-benar menginginkan kebaikan untuk kita, tentunya lebih berhak lagi untuk kita terima nasehatnya. Jika pun kita belum bisa sempurna mengamalkan nasehatnya, maka kita berusaha sambil terus berdoa kepada Allah agar kita bisa mengamalkan kebenaran yang telah kita terima.
Karena ketika kita malah mencari-cari kesalahan orang yang memberi nasehat kepada kita, justru dikhawatirkan hal itu termasuk ke dalam bentuk kesombongan berupa menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.
Padahal orang yang sombong ancamannya sangat berat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallampernah bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan meski hanya seberat biji sawi.” Seorang laki-laki bertanya: “Ada seseorang yang suka jika bajunya bagus dan sandalnya bagus (apakah termasuk kesombongan?)” Beliau menjawab: “Sesungguhnya Allah Maha indah dan menyukai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim, no. 2749)
Ketika seseorang memberikan nasehat kepada kita dengan cara yang baik karena kita melakukan sebuah kesalahan, berarti ia telah melakukan sebuah kebaikan, bisa jadi ia telah mendapatkan pahala atas nasehatnya itu. Sedangkan kita, jika kita malah membantahnya dan mendebatnya serta mencari-cari kesalahannya, justru kita bisa terjatuh ke dalam banyak kesalahan; pertama: kita telah menolak nasehat, kedua kita mencari-cari kejelekan orang lain (si Pemberi nasehat), ketiga: kita membela kesalahan kita, keempat: kita memunculkan permusuhan antara kita dengan dia. Lihatlah perbandingannya; ia melakukan satu kebaikan, tapi kita justru melakukan empat kesalahan atau bisa juga lebih banyak lagi.
Semoga Allah meridhai sahabat Abu Darda yang telah berkata:
إِنِّيْ لَآمُرُكُمْ بِالْأَمْرِ وَمَا أَفْعَلُهُ، وَلَكِنْ لَعَلَّ اللهَ يَأْجُرُنِيْ فِيْهِ
“Boleh jadi aku mengajak kalian pada suatu kebaikan sedangkan aku sendiri belum melakukannya, namun aku berharap semoga Allah memberi aku pahala dengan hal tersebut.” (Siyar A`lamin Nubala` II/345)
Oleh karena itu, hendaknya kita berusaha memiliki sikap sabar dan tawadhu atau rendah hati, sehingga mudah menerima kebenaran. Semoga Allah menghindarkan kita dari kesombongan, dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang mudah menerima kebenaran serta mengamalkannya. Allahumma aamiin.
--------
Abu Ibrohim Ari bin Salimin